"Apa gerangan yang salah?", belakangan ini benda-bulat-putih-penguasa-tubuh milikku kerap kali terusik dengan pertanyaan itu. Ya, benakku bekerja ekstra akhir-akhir ini. Bahkan kali ini ia menggabungkan dirinya dengan satu-satunya partner yang dapat bertarung seimbang dengannya, penyeimbang jiwa aku menyebutnya. Nurani. Mereka berpasangan menelisik setiap inci tubuhku untuk mencari apa yang mulai mengusikku akhir-akhir ini. Apakah tugas baruku sebagai penjaga harta dunia di prodiku? Bukan, jawab mereka. Atau tentang sisa kuliah wajib yang dengan sangat rajinnya, atau bodohnya, masih kuambil? Bukan juga, keluh mereka. Juga bukan mengenai tugas akhir yang seharusnya jadi prioritas utamaku.
Aku mulai memicingkan mata sedikit untuk melihat dunia di luarku, barangkali pengganggu itu ada di luar. Visiku menerawang bergesekan dengan rentetan peristiwa di sekitarku. "Ah, ini dia ternyata penjahatnya", bisikku. Satu paket bencana bonus kelakuan minus para pemimpin di negeri yang kucintai ini.
Terjangan air yang seringkali orang menyebutnya banjir bandang mendera salah satu distrik di daerah paling timur negeri ini. Hal ini membuatku memutar kembali memori menyebalkan ketika aku mendengar selintas pembicaraan orang tak kukenal ketika turun hujan, "masa gitu aja takut, hujan cuma air kok". Air memang sepintas terlihat tidak berbahaya namun dalam beberapa kasus air bisa menjadi sumber bencana yang sangat menakutkan. Rupanya orang-tak-kukenal itu tidak mengetahui sejauh apa potensi air. Kalau mereka masih belum juga mengerti, baru-baru ini terjadi contoh yang lain dari keperkasaan air yang membuat kita miris mendengarnya. Setelah banjir bandang di timur maka gantian giliran daerah barat yang menderita akibat hantaman gelombang panjang. Tsunami. Ya, hantaman-gelombang-yang-terbentuk-dari-hanya-air itu memporakporandakan daerah tersebut.
Sebagian negeri ini menundukkan kepalanya dalam-dalam, berduka, ketika mendengar berita tersebut. Namun salah satu pemimpin negeri ini hanya bisa menyalahkan warga di daerah tersebut karena mereka tinggal di sana. "Jangan tinggal di pesisir kalau takut hantaman gelombang", lidahnya yang busuk berbicara. Aku bahkan meragukan apakah dia masih pantas disebut sebagai manusia. Dasar lintah berlidah busuk, makiku. Tugas kalian para pemimpin bangsa ini untuk melakukan mitigasi bencana dari jauh-jauh hari agar dapat mengurangi dampak dari sebuah bencana, atau bahkan menghindarinya sama sekali. Padahal hanya dengan sedikit tunjuk dan kata-kata dari kalian yang duduk di atas sana maka aku yakin mitigasi tersebut akan dapat selesai dikerjakan.Bukan malah menyalahkan penduduk yang tinggal di sana. Ingin rasanya aku mengembalikan kata-kata tersebut langsung ke otaknya-yang-kecil-dan-mungkin-ia-tidak-tahu-cara-pakainya, "Jangan jadi pemimpin bangsa ini kalau takut bertanggung jawab ketika kalian tidak melakukan apa-apa sebelumnya!".
Belum kering air mata kita, bencana yang lain pun mulai berdatangan seolah tidak ingin tertinggal tren yang sedang melanda di negeri ini. Tanah yang sering kita pijak ini mulai bergoyang, mencari titik keseimbangannya yang baru. Namun yang paling parah adalah keluarnya isi bumi dari mulut salah satu pilar pencakar langit termegah di dunia ini. Pasak bumi tersebut memuntahkan cairan lava panas, menerbangkan berbagai batuan dari perut bumi ke angkasa, dan juga meniupkan awan panas hingga tempat yang berjarak ratusan kilometer dari tempatnya berdiri. Partikel kecil dari bebatuan yang diterbangkan tersebut mengkontaminasi udara di beberapa kota di pulau ini. Mengingatkan kembali betapa kita harus bersyukur masih dapat bernafas dengan nikmatnya. Dan gratis.
Entah sudah berapa korban yang menderita akibat rentetan bencana tersebut. Entah sudah berapa besar kerugian yang ditimbulkan. Entah sudah berapa liter air mata yang tertumpah. Entah sudah berapa banyak orang yang meminta donasi yang mengatasnamakan bencana-bencana tersebut. Entah sudah berapa banyak pula dana dari donasi tersebut yang sampai kepada para korban bencana tersebut. Entah sudah berapa banyak dana donasi yang hilang selama perjalanannya. Atau mungkin tidak dikirimkan sama sekali?
Mengapa bencana datang bertubi-tubi ke tanah merah putih ini? Apakah ini semua teguran dari Yang Maha Kuasa atas semua kebusukan yang terjadi di negara yang menjunjung tinggi demokrasi ini? oh iya dan juga reformasi. Akankah ini semua akan berhenti? Atau bahkan menjadi lebih parah hingga cukup untuk menghukum negeri ini dan semua manusia di dalamnya, seperti banyak tertulis di kitab suci? Apakah yang harus kita lakukan untuk menyucikan diri kita kembali sehingga dapat meredakan kemarahan-Nya? Mari kita meluangkan waktu kita sejenak dan bercermin ke dalam diri kita. Kontemplasi. Luruskan niat kita kembali dan memperbaiki diri kita. Akankah itu cukup untuk-Mu memaafkan bangsa ini, Oh Yang Maha Bijaksana?
No comments:
Post a Comment