Wednesday, December 1, 2010

Rain and I

I hate rain! Oh no, my friends will be angry when they see those statement. Including you maybe. Even more the-rain-lovers. Most of the-rain-lovers are girls. And they don't drive motorcycle for sure. They will say anything to take up the cudgels for rain. Screw that! They don't know how it feels when I was caught in the rain while I'm driving my motorcycle. It feels nasty. Gross. Horrible. Terrible. Whatever it is, you name it. "But rain is such a bless from God, how could you hate it?", one friend of mine once said that. Well, I admitted that rain is such a bless from God but I just hate to be caught in rain whenever I'm on my way. But, again, 'hate' is such a strong word. Maybe I should rephrase it. I hate dislike rain! Yeah, it feels better. I dislike rain!

Saturday, November 13, 2010

Simple Love


Kita berdua hanya berpegangan tangan
Tak perlu berpelukan
Kita berdua hanya saling bercerita
Tak perlu memuji

Kita berdua tak pernah ucapkan maaf
Tapi saling mengerti
Kita berdua tak hanya menjalani cinta
Tapi menghidupi

Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu
Jatuh cinta itu biasa saja
Saat cemburu, kian membelenggu, cepat berlalu
Jatuh cinta itu biasa saja

Jika jatuh cinta itu buta
Berdua kita akan tersesat
Saling mencari di dalam gelap
Kedua mata kita gelap
Lalu hati kita gelap
Hati kita gelap
Lalu hati kita gelap


-'Jatuh Cinta Itu Biasa Saja' by Efek Rumah Kaca-




Sounds simple yet so complicated
Sounds cheesy yet so happy 
We simply love to be happy,
won't we?


Picture's taken from hallealessia's tumblr

Thursday, November 4, 2010

Teman Dalam Sepi

Mentari yang sama masih hangatkan dunia yang fana
Oksigen yang sama masih bercinta dengan rongga dadaku
Bumi yang sama masih setia memeluk erat setiap jejak
Darah yang sama masih mengalir melalui setiap sudut tubuhku
Awan putih yang serupa masih tergantung di birunya angkasa,
walaupun kadang ketika lelah ia bergantian dengan si kelabu
Keyboard yang sama tetap menemani jemariku menari atasnya
Alunan musik yang sama masih getarkan pusat keseimbanganku
Ruang penuh buku itu masih menjadi tempatku berdiam
Kotak-pembeku-waktu itu masih menjadi teman-pengapresiasi hidup

Namun, ada suatu yang beda kali ini
Penghujung minggu terbayang jemu
Tak ada lagi senyummu menemani
Juga celoteh-celoteh tak penting itu
Hanya satu temanku dalam sepi,
rasa rinduku padamu...

Wednesday, November 3, 2010

Please.Smile.Again

Pulang kembali ke ruang biru berukuran 3 meter persegi itu. Melanjutkan eksplorasi dunia maya dengan sebuah kotak kecil serba bisa yang telah setia menemaniku selama lebih dari setengah dasawarsa terakhir. Ah ingin rasanya aku mengganti dirimu, teman kecilku, dengan teman yang jauh lebih cerdas dan cekatan. Hasrat terpendamku. Lupakan dulu dunia khayalan dan partner kecilmu itu, akal sehatku menyela. Saudari sedarahku ingin menumpahkan semua keluh kesahnya yang telah mengganggunya belakangan ini. Maka aku pun mulai berbaring di kasur pegas favoritku. King Size. Cukup nyaman untuk menerbangkanku ke mimpi terindah sekalipun, pikirku secara hiperbolik. "Bah! Tidak penting seperti apa tempatmu memejamkan mata, ada urusan yang jauh lebih penting di depan matamu untuk kau pikirkan saat ini", nuraniku yang kesal mulai protes. Saudariku berpikir sejenak, menyusun semua yang ada di benaknya. Membuka lisannya. Lalu hujan kata-kata pun mulai meluncur dari bibirnya yang mungil. Mungkin sebagian langsung dari hatinya. Argh, ceritanya membuat batinku gerah. Emosiku mulai merambat secara perlahan. Ingin rasanya tangan ini mengajarkan sedikit sopan santun kepada siapapun itu di luar sana yang berani-beraninya membuat adikku menderita. Oh, oke mungkin tidak sedikit. Aku sedikit menyadari kemungkinan aku akan hilang kendali ketika melakukannya. Beberapa waktu kemudian dia selesai bercerita. Sedikit wejangan dariku. Yang ini cukup sedikit saja, karena akan menyebalkan jika kadarnya berlebih. Kemudian giliranku menutup kisahnya dengan sedikit kilas-balik-hidupku yang ceria. Semoga itu cukup untuk membuatnya tersenyum lagi.

Tuesday, November 2, 2010

Renungan Tanah Merah Putih

"Apa gerangan yang salah?", belakangan ini benda-bulat-putih-penguasa-tubuh milikku kerap kali terusik dengan pertanyaan itu. Ya, benakku bekerja ekstra akhir-akhir ini. Bahkan kali ini ia menggabungkan dirinya dengan satu-satunya partner yang dapat bertarung seimbang dengannya, penyeimbang jiwa aku menyebutnya. Nurani. Mereka berpasangan menelisik setiap inci tubuhku untuk mencari apa yang mulai mengusikku akhir-akhir ini. Apakah tugas baruku sebagai penjaga harta dunia di prodiku? Bukan, jawab mereka. Atau tentang sisa kuliah wajib yang dengan sangat rajinnya, atau bodohnya, masih kuambil? Bukan juga, keluh mereka. Juga bukan mengenai tugas akhir yang seharusnya jadi prioritas utamaku. 

Aku mulai memicingkan mata sedikit untuk melihat dunia di luarku, barangkali pengganggu itu ada di luar. Visiku menerawang bergesekan dengan rentetan peristiwa di sekitarku. "Ah, ini dia ternyata penjahatnya", bisikku. Satu paket bencana bonus kelakuan minus para pemimpin di negeri yang kucintai ini.

Terjangan air yang seringkali orang menyebutnya banjir bandang mendera salah satu distrik di daerah paling timur negeri ini. Hal ini membuatku memutar kembali memori menyebalkan ketika aku mendengar selintas pembicaraan orang tak kukenal ketika turun hujan, "masa gitu aja takut, hujan cuma air kok". Air memang sepintas terlihat tidak berbahaya namun dalam beberapa kasus air bisa menjadi sumber bencana yang sangat menakutkan. Rupanya orang-tak-kukenal itu tidak mengetahui sejauh apa potensi air. Kalau mereka masih belum juga mengerti, baru-baru ini terjadi contoh yang lain dari keperkasaan air yang membuat kita miris mendengarnya. Setelah banjir bandang di timur maka gantian giliran daerah barat yang menderita akibat hantaman gelombang panjang. Tsunami. Ya, hantaman-gelombang-yang-terbentuk-dari-hanya-air itu memporakporandakan daerah tersebut. 

Sebagian negeri ini menundukkan kepalanya dalam-dalam, berduka, ketika mendengar berita tersebut. Namun salah satu pemimpin negeri ini hanya bisa menyalahkan warga di daerah tersebut karena mereka tinggal di sana. "Jangan tinggal di pesisir kalau takut hantaman gelombang", lidahnya yang busuk berbicara. Aku bahkan meragukan apakah dia masih pantas disebut sebagai manusia. Dasar lintah berlidah busuk, makiku. Tugas kalian para pemimpin bangsa ini untuk melakukan mitigasi bencana dari jauh-jauh hari agar dapat mengurangi dampak dari sebuah bencana, atau bahkan menghindarinya sama sekali. Padahal hanya dengan sedikit tunjuk dan kata-kata dari kalian yang duduk di atas sana maka aku yakin mitigasi tersebut akan dapat selesai dikerjakan.Bukan malah menyalahkan penduduk yang tinggal di sana. Ingin rasanya aku mengembalikan kata-kata tersebut langsung ke otaknya-yang-kecil-dan-mungkin-ia-tidak-tahu-cara-pakainya, "Jangan jadi pemimpin bangsa ini kalau takut bertanggung jawab ketika kalian tidak melakukan apa-apa sebelumnya!".

Belum kering air mata kita, bencana yang lain pun mulai berdatangan seolah tidak ingin tertinggal tren yang sedang melanda di negeri ini. Tanah yang sering kita pijak ini mulai bergoyang, mencari titik keseimbangannya yang baru. Namun yang paling parah adalah keluarnya isi bumi dari mulut salah satu pilar pencakar langit termegah di dunia ini. Pasak bumi tersebut memuntahkan cairan lava panas, menerbangkan berbagai batuan dari perut bumi ke angkasa, dan juga meniupkan awan panas hingga tempat yang berjarak ratusan kilometer dari tempatnya berdiri. Partikel kecil dari bebatuan yang diterbangkan tersebut mengkontaminasi udara di beberapa kota di pulau ini. Mengingatkan kembali betapa kita harus bersyukur masih dapat bernafas dengan nikmatnya. Dan gratis.  

Entah sudah berapa korban yang menderita akibat rentetan bencana tersebut. Entah sudah berapa besar kerugian yang ditimbulkan. Entah sudah berapa liter air mata yang tertumpah. Entah sudah berapa banyak orang yang meminta donasi yang mengatasnamakan bencana-bencana tersebut. Entah sudah berapa banyak pula dana dari donasi tersebut yang sampai kepada para korban bencana tersebut. Entah sudah berapa banyak dana donasi yang hilang selama perjalanannya. Atau mungkin tidak dikirimkan sama sekali?  

Mengapa bencana datang bertubi-tubi ke tanah merah putih ini? Apakah ini semua teguran dari Yang Maha Kuasa atas semua kebusukan yang terjadi di negara yang menjunjung tinggi demokrasi ini? oh iya dan juga reformasi. Akankah ini semua akan berhenti? Atau bahkan menjadi lebih parah hingga cukup untuk menghukum negeri ini dan semua manusia di dalamnya, seperti banyak tertulis di kitab suci? Apakah yang harus kita lakukan untuk menyucikan diri kita kembali sehingga dapat meredakan kemarahan-Nya? Mari kita meluangkan waktu kita sejenak dan bercermin ke dalam diri kita. Kontemplasi. Luruskan niat kita kembali dan memperbaiki diri kita. Akankah itu cukup untuk-Mu memaafkan bangsa ini, Oh Yang Maha Bijaksana?  

Monday, November 1, 2010

Esok kan Masih Ada

Si bulat panas sudah sedikit mencondongkan badannya ke arah barat. Namun titah dari atas memaksaku bergerak, menelanjangi ruang persegi ini beserta seluruh harta di dalamnya. Tangan-tangan kejam pun memulai aksinya, memberi label 'sampah' atas semua properti yang tak jelas. Lalu melemparnya ke dalam kotak gelap yang pantas. Tidak peduli jerit dan amarah para pemiliknya. "Simpan dan jagalah jika itu penting bagi kalian!", alibi kami. Hanya sedikit kantong-kecil-jahat-yang-katanya-merusak-bumi-ini saja yang kami simpan. Karena walaupun sebagian orang menyebut mereka jahat, aku masih menganggap mereka kantong-kecil-praktis-serba-guna. Teknologi.

Setelah itu kami mulai memilah kumpulan-kumpulan kertas yang bersepuhkan pengetahuan di atasnya. Harta dunia, aku menyebutnya. Buku. Salah satu benda favoritku di atas muka bumi ini. Kami mulai mendiskriminasikan mana harta yang asli dan tiruan. "Sembunyikan semua tiruan itu!", titah itu yang sedang kami jalankan. Semua demi penilaian yang lebih baik. Dan segenggam harga diri, mungkin. Munafik. Apa gunanya terlihat sehat dari luar sedangkan busuk menggerogoti bagian dalammu? Perbanyak usahamu jika ingin dinilai lebih oleh orang, jangan hanya sembunyikan kekuranganmu. Tiruan-tiruan itu pun menghilang satu demi satu, memasuki rumah-kotak baru mereka yang sementara.

Aliran pasir waktu pun mulai berjatuhan tanpa kami sadari. Aku hanya merasakan udara atasku semakin memanas, mungkin akibat metabolisme tubuh yang meningkat. "Sedikit lagi selesai", aku mencoba menghibur hati kecilku. Ah, waktu yang tersisa takkan cukup untuk membereskan masalah yang pelik ini sekaligus. Masih ada hari esok. Kami berargumen, sedikit lari dari kenyataan. Kapan kamu mau bangun, hai tubuh? Kapan kamu mau mulai berpikir jernih, hai akal? Hari esok tidak selalu kan datang, wahai kawan. Imanilah itu!



Saturday, October 30, 2010

Contemplation

Deeper I go. Darker, it becomes.

Longer I spent. More mysteries that I got.

The more that I know. The more I confused.

The more I think. The less I understand.

Smarter I became. The more I realized how fool I am.

But, not to know more is such a pain.

A cursed pain.

Cursed to be a fool for eternity.

Am I the cursed one?

Are you the cursed one?

Are we the cursed one?



-written in the midnight when my mind is uneasy and my soul corrupted by anger-

randomthoughts

awan menggelayuti angkasa

sore mulai menerawang

akhirnya turun juga

hujan kata-kata

menyesakkan

pekat

merebut egoku

selubungi bawah sadarku

mengungkungku

di bawah langit sendu


-ditulis di pertengahan musim kemarau 2011-



extraordinary

In this ordinary day

I came to an ordinary place

drove my ordinary motorcycle

wore my ordinary outfits

brought you an ordinary dinner

and ordinary medicine for your ache

and also some ordinary stuff

passed through the ordinary rain

along with its ordinary flood

only to tell you this extraordinary feeling

that u are an extraordinary girl for me








-181010-

Wednesday, October 27, 2010

LARI!

Butir hujan menari atasku

Cahaya sang raja pun khianatiku

Dinginnya kota ini membiusku

Bekukan semua inginku

Dedaunan bergesekan tunjukkan tawanya

Belai angin tak kurasakan lembutnya

Kasar, menyentak seolah murka

Terbangkan semua hasrat tersisa

Lisanku berontak, tumpahkan semuanya

Langkahku terpaku seolah terpatri

Pandangku gelap terbutakan kecewa

Pikir dan hati berteriak memaki

LARI!”, jerit mereka

Api kejenuhan membakarku habis

Gelapnya hati menyelubungi

Lautan itu mungkin mampu membasuhku,

Setitik cahaya di depan mampu menuntunku,

Mampukah?” raguku membuncah

Instingku berbisik, “Lari dan lihatlah!


-di tengah hujan musim kemarau-